Biografi Imam Al-Ghazali – Kajian tasawuf memang selalu menarik untuk dikaji, terutama dalam konteks zaman di mana nilai-nilai ilahiah tidak lagi menjadi kegandrungan, dan sebaliknya nilai-nilai duniawiah menjadi kecenderungan. Tasawuf tidak berarti identik dengan hidup asketis dan statis yang menjadikan seseorang jauh dari lingkungan sosialnya. Tasawuf sendiri lebih bersifat dinamis dan humanis, ia merupakan manifestasi nilai-nilai ilahiah dalam konteks kehidupan sosial. Ia adalah representasi dari iman, Islam, dan juga ihsan (Yunasril Ali, 1987: I. 29-30).
Dengan bertasawuf, idealnya seseorang dapat memperkuat eksistensi dirinya kepada Tuhan, begitu pula dengan individu lain. Bahkan, tasawuf seharusnya dapat mensinergikan hubungan baik antara aspek ilahiyah, basyariyah, dan kauniyah. Dalam konteks inilah tasawuf diformulasikan oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali, yang dikenal degan tasawuf sunni.
Al-Ghazali menilai bahwa tasawuf bukan berarti harus lari dari realitas kehidupan yang ada. Tasawuf tidak dapat dibangun hanya melalui kehidupan yang kontemplatif, dimana lebih memprioritaskan hakikat daripada syari’at. Menurut Imam Ghazali, antara hakikat dan syari’at harus bersifat paralel-komplementer. Hakikat tanpa syari’at ibarat pohon tanpa akar, sedangkan syari’at tanpa hakikat bagaikan pohon tidak berbuah. Artinya, kebahagiaan sebagai bagian dari tujuan para sufi harus berdiri di atas pondasi Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber kebenaran yang tidak bisa terbantahkan dalam Islam. Dengan kata lain, dua potensi besar (akal dan hati) yang membentuk diri manusia harus mendapat legitimasi yang sama guna memperoleh kebenaran hakiki melalui representasi syari’at dan hakikat.
Moderasi syari’at dan hakikat inilah yang kemudian disebut sebagai tasawuf sunni dalam perspektif Al-Ghazali. Pengembaraan intelektual falsafi hanya akan membuat orang sesat berpikir, apabila tidak diperkuat oleh pengalaman spiritual berlandaskan ketentuan-ketentuan syari’at. Inilah terobosan baru yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali dalam memodifikasi dari tasawuf falsafi menjadi tasawuf sunni. Hingga kini sudah banyak kontribusi ilmiah-amaliah yang diwariskan Imam Al-Ghazali dalam berbagai karyanya, terlepas dari adanya pro-kontra terhadap produk pemikirannya.
Biografi Imam Al-Ghazali
Berikut ini adalah biografi Imam Al-Ghazali selengkapnya.
Nama Imam Ghazali
Sebutan Al-Ghazali sebenarnya bukanlah nama aslinya. Nama aslinya ialah Muhammad saja, namun beliau lebih dikenal dengan Abu Hamid. Bila disebut secara lengkap namanya ialah al-Imam Zainuddin Hujjat al-Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Al-Thusi Al-Faqih Al-Shufi Al-Syafi Al-Asyari. Beliau lahir pada tahun 450 H/1059 M di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus di Khurasan, empat setengah abad setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Makkah ke Madinah dan kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan Alp Arselan ke singgasana Saljuk. Beliau meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima (55) tahun, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H atau 19 Desember 1111 M.
Al-Ghazali Kecil
Karir intelektual dan spiritualnya dimulai saat ayahnya meninggal dunia. Sebelum sang ayah meninggalkan Al-Ghazali, ayahnya menitipkannya kepada seorang guru sufi agar memelihara kedua anaknya, yaitu Muhammad dan Ahmad. Akan tetapi, lama-kelamaan sang sufi yang fakir tersebut tidak dapat melanjutkan memelihara kedua bocah tersebut, karena kehabisan biaya untuk memeliharanya. Akhirnya, ia menyerahkan kedua bocah itu kepada Madrasah Thus agar bisa memperoleh makan dan pendidikan. Di sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spiritual Al-Ghazali kecil yang penuh arti sampai akhir hayatnya. Secara sepintas di sini dapat digambarkan bahwa karir dan pengembaraan intelektual Al-Ghazali dimulai dari pengajaran seorang sufi yang mengajari menulis (khath) di Madrasah Thus. Di sana dia mulai belajar fikih Syafi’i dan teologi Asy’ari dari seorang guru yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razakani Al-Thusi.
Pengembangan Intelektual
Dalam usianya yang belum mencapai 20 tahun, beliau melanjutkan studinya ke Jurjan di bawah bimbingan seorang ulama, Abu Nasr Al-Ismaili, untuk belajar ilmu agama serta bahasa Arab dan Persia. Tidak diketahui berapa lama beliau belajar di Jurjan, sebelum akhirnya Al-Ghazali kembali ke Thus. Selama itu Al-Ghazali muda sempat mempelajari ilmu tasawuf dari Yusuf An-Nassaj (w. 487 H), setelah itu Al-Ghazali berangkat ke Nisyapur bersama beberapa orang temannya untuk berguru kepada Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (w. 478 H), tokoh Asy’arisme yang memimpin perguruan tinggi An-Nidzamiyah pada saat itu. Di sinilah, Imam Al-Ghazali memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan yang meliputi bidang fikih, ushul fikih, teologi, logika, filsafat, metode berdiskusi dan lain sebagainya. Di sini pula Al-Ghazali sempat belajar ilmu sufisme kepada Abu Ali Al-Fadlil ibnu Muhammad ibnu Ali Al-Farmadhi (w. 477 H) dari segi teori dan praktiknya. Dengan demikian, selama di Nisyapur, kota terbesar di daerah Khurasan pada saat itu, Al-Ghazali benar-benar menjadi seorang intelektual paripurna dengan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Pada tahun 478 H/1085 M, Imam Al-Ghazali meningggalkan Kota Nisyapur karena guru tersayangnya, Imam Al-Juwaini, telah meninggal dunia. Kemudian beliau menuju Mu’askar dengan maksud bergabung dengan kaum intelektual dalam majelis seminar yang didirikan oleh Nidzam Al-Mulk, seorang wazir Saljuk dan seorang ulama. Di sinilah nama Imam Al-Ghazali mulai diperhitungkan karena penguasaan ilmunya, kehebatan analisisnya, dan ketajaman argumentasi yang dikemukakannya sehingga Al-Ghazali menjadi imam atau rujukan para intelektual di wilayah Khurasan saat itu. Kurang lebih selama 6 tahun Imam Al-Ghazali terlibat dalam diskusi ini di Muaskar. Karena keluasan ilmunya Al-Ghazali diangkat oleh Nidzam Al-Mulk sebagai guru besar dan sekaligus juga memimpin madrasah tersebut di Kota Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. (Harun Nasution, 2002: II. 48-50).
Mencari Kebenaran yang Sebenarnya
Kedalaman dan keluasan ilmun Imam Al-Ghazali menyebabkan ia menjadi ragu (syak) terhadap kebenaran hasil pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indera karena panca indera terkadang tidak dapat dipercaya. Sebagai perandaian, ia sebut “bayangan (rumah) kelihatannya tidak bergerak, tetapi akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, akan tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang itu lebih besar dari bumi. Begitu juga saat Imam Al-Ghazali mempelajari ilmu kalam atau teologi dari gurunya, al-Juwaini. Di situ ternyata terdapat beberapa aliran yang sangat bertentangan, sehingga hal ini menyebabkan Imam Al-Ghazali menjadi ragu terhadap segala-galanya. Sebab itu, timbullah pertanyaan dalam diri Al-Ghazali, aliran manakah yang betul-betul benar di antara aliran-aliran ini? Sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, Al-Munqidz min Adl-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan). Beliau ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga.
Dengan adanya berbagai pertentangan antar aliran-aliran kalam, maka menurut Imam Al-Ghazali ilmu kalam tidak dapat memenuhi tuntutan jiwa. Dalam kaitan ini, Imam Al-Ghazali mengatakan, “maka kujumpai ilmu kalam adalah ilmu yang telah sempurna sesuai dengan tujuannya. Hanya saja belum mencukupi bagi tujuanku. Tujuan dari ilmu kalam adalah menjaga akidah ahlus sunnah dan melindunginya dari bisikan bid’ah.”
Sifat rasionalitas dan banyaknya pertentangan konsep-konsep ilmu kalam justru menjadikan manusia mengambang keyakinannya. Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali mengatakan, aku tidak meragukan bahwa ilmu kalam hasilnya telah memadai bagi suatu golongan tertentu, akan tetapi hasil yang masih berbau taklid terhadap hal-hal yang tidak bersumber atas pengertian-pengertian awaliyat. Hal ini sedikit faedahnya bagi orang yang menuntut kepastian yang benar-benar meyakinkan.
Setelah Imam Al-Ghazali mempelajari ilmu kalam dan dirasa di sana tidak dapat ditemukan kebenaran, maka beliau mencoba menguak tabir kebenaran menurut filsafat dan pendapat para filosof. Ternyata, argumen-argumen yang dikemukakan oleh para filosof tidak dapat memuaskan jiwa Imam Al-Ghazali, bahkan ia manganggap bahwa pendapat yang dikemukakan para filosof itu bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam keadaan inilah, beliau mengarang sebuah kitab “Maqashid al-Fulasifah (Pemikiran para Filosof). Buku ini ditulisnya untuk mengkritik dan juga menghancurkan para filosof dan filsafatnya. Kritikan dan serangan tersebut dalam bentuk buku yang diberi judul “Tahafut Al-Fulasifah (Kekacauan Pemikiran para Filosof, The Incoherence of the Philosophers). (Harun Nasution, 1999: 35-36).
Imam Al-Ghazali menyerang dan mengkritik para filosof karena didasarkan pada penilaiannya terhadap hasil-hasil pemikiran filosof atas tiga kategori: pertama, pendapat-pendapat yang tidak dapat diingkari kenyataannya. Kedua, yaitu pendapat-pendapat yang wajib dikafirkan. Ketiga, yaitu pendapat-pendapat yang bersifat bid’ah. Di antara konsepsi para filosof yang dinilai Imam Al-Ghazali menyebkan kekafiran adalah bahwa alam itu qadim dan azali, Allah tidak mengetahui hal-hal secara terperinci (hanya mengetahui garis besarnya saja), dan bahwa yang akan dibangkitkan kembali hanyalah ruhnya tanpa jasad.
Imam Al-Ghazali adalah bukan seorang yang mempunyai tipe mudah menyerah dalam mencari dan menemukan kebenaran sejati (’ilm al-haqiqi). Oleh karena itu, ia mencoba menerobos dan mempelajari ilmu batin yang diajarkan oleh syi’ah bathiniyah yang mengharuskan pengikut-pengikutnya untuk bertaklid buta kepada imamnya dalam urusan agama dan keduniaan. Di sini Al-Ghazali juga tidak dapat menemukan kebenaran, bahkan ia malah tidak membenarkan ajaran Syi’ah tersebut. Imam Al-Ghazali mengatakan, “daripada berpegang dan beriman kepada sesama pengikut Nabi, lebih baik beriman langsung dan mengikuti langsung kepada petunjuk dan sabda-sabda Nabi.”
Bahtera Pemikirannya Berlabuh pada Tasawuf
Setelah api jiwanya merasa tidak terpuaskan oleh jalan yang ditempuh dalam ilmu kalam, filsafat, dan ajaran batiniyah, Al-Ghazali kemudian mengerahkan perhatiannya pada ajaran tasawuf. Berbagai kitab tasawuf beliau pahami, seperti kitab Ar-Risalat Al-Qusyairiyah dan Qut Al-Qulub. Selain itu, keluarga Imam Al-Ghazali juga sangat berperan dalam mengantarkan dan mensupportnya untuk mempelajari ilmu tasawuf. Saudaranya sendiri juga termasuk salah satu tokoh sufi. Ternyata, di dalam tasawuflah Al-Ghazali dapat menemukan yang selama ini ia cari dan dambakan, yaitu kebenaran hakiki yang selamanya dilalui dengan berbagai pengembaraan panjang dan cukup melelahkan. Beliau mengatakan, “setelah aku mempelajari ilmu-ilmu ini (kalam, filsafat, dan ajaran bathiniyah), aku mulai menempuh jalan para sufi.” (Abdul Fattah Sayyid Ahmad, 2000: I. 69)
Akhirnya, ImamAl-Ghazali menarik suatu konklusi bahwa tasawuflah satu-satunya metode yang dapat mengantarkan pada konsepsi kebenaran sejati. Dalam hal ini beliau mengatakan, “kini aku menyadari seyakin-yakinnya, para sufilah yang menempuh pada jalan Allah SWT. Jalan mereka adalah sebagus-bagusnya jalan. Cara yang mereka tempuh adalah yang palig benar. Akhlak mereka adalah akhlak yang paling suci. Bahkan, seandainya para ahli hikmah (kebijaksanaan) dan para ahli pikir serta ilmu para ulama yang berpegang pada syari’at berkumpul untuk mengganti jalan dan akhlak yang lebih baik dari pada jalan para sufi mereka tidak akan mampu. Karena gerak dan diam mereka, baik lahir maupun batin dipetik dari cahaya kenabian. Tidak ada petunjuk yang benar di dunia ini terkecuali dari cahaya kenabian (nur an-nubuwwah).”
Dari tasawuf inilah Imam Al-Ghazali memperoleh cahaya yang diturunkan Allah ke dalam dirinya, itulah yang membuatnya memperoleh keyakinan kembali. Mengenai cahaya ini Imam Al-Ghazali pernah mengatakan, “cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa (kasyaf) atau pembuakaan tabir bergantung pada argumen-argumen sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang begitu luas. Cahaya yang dimaksud ialah cahaya yang disinarkan Allah ke dalam hati sanubari seseorang.”
Dengan keyakinan yang dipegang Al-Ghazali mengenai ajaran sufi tersebut, maka pada tahun 488/1095 M Al-Ghazali mendadak meninggalkan Baghdad menuju Damaskus di Syria untuk menjalankan cara hidup yang sama sekali lain dari kehidupannya selama berada di Baghdad. Beliau meninggalkan keluarga dan jabatan yang dipangkunya berikut kehidupan mewahnya,menuju hidup sebagai seorang sufi yang fakir dan zuhud terhadap dunia.
Sebagaimana dikatakan Imam Al-Ghazali sendiri dalam bukunya, Al-Munqidz, di Syam (Damaskus): “Aku tinggal kira-kira dua tahun melakukan uzlah (menyendiri untuk tafakkur), khalwat (mengasingkan diri di tempat sunyi), riyadlah (latihan diri), dan mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu), menurut tasawuf yang pernah aku pelajari, semua itu untuk menjernihkan batin, supaya mudah berdzikir kepada Allah SWT sebagaimana mestinya. Lama aku menyendiri di masjid Kota Damsyiq, di atas menara sepanjang hari dengan pintu tertutup. Dari Damsyiq aku pergi Bait Al-Maqdis, di sana setiap hari aku masuk ke Qubbat al-Salva dan tinggal di situ dengan pintu tertutup.
Akhirnya, timbullah keinginan di dalam hatiku untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke Makkah, Madinah, dan juga makam Rasulullah SAW, yaitu setelah berziarah ke makam al-Khalil Nabi Ibrahim AS.” Faktor yang menyebabkannya adalah bersifat psikologis, yaitu karena di puncak karir intelektualnya beliau telah mengalami perkembangan intelektual yang sangat unik. Aktivitas sufi ini dijalani Imam Al-Ghazali selama kurang lebih 10 atau 11 tahun lamanya. Seperti yang dikutip M. Amin Abdullah dari kitab Al-Munqidz bahwa bagi Imam Al-Ghazali sendiri doktrin mistik yang sangat menyentuh petunjuk moral bukanlah secara keseluruhan merupakan hal yang baru bagi Imam Al-Ghazali, namun dbeliau hanya mengambil alih doktrin mistik ini dari para sufi pendahulunya. Beliau sendiri menyebutkan bahwa dirinya telah membaca buku-buku sufi, seperti Qut Al-Qulub oleh Abu Thalib Al-Makki (w. 386/996), karya-karya dari Haris Al-Muhasibi (w. 243/857), Al-Junaid (w. 298/910) As-Sibli (w. 334/945), dan Abu Yazid Al-Busthami (w. 261/875). (Amin Abdullah, 2002: 28-32).
Dengan demikian, ajaran sufi yang dipegangi dan diyakini Imam Al-Ghazali tidak bisa terlepas dari pengaruh para sufi sebelumnya. Meskipun begitu, Imam Al-Ghazali adalah seorang sufi yang selalu peduli dengan lingkungan yang mengitarinya, dan beliau merasa bertanggung jawab atas keadaan masyarakat yang mengelilinginya.
Di saat konsentrasi mistisnya memuncak, beliau merasa terusik dengan persoalan-persoalan di sekitar, dekadensi moral, dan amal muncul di mana-mana, baik yang terjadi di kalangan umat maupun ulama. Keadaan inilah yang kemudian menggugah Imam Al-Ghazali untuk berperan aktif dan mengobati penyakit-penyakit rohani yang diderita oleh umat pada waktu itu. Karena itu, pada tahun 499/1106 M timbul kesadaran baru dalam dirinya bahwa beliau harus keluar dari uzlah dan zawiyah (tempat khalwat sufi) karena terjadinya dekadensi moral dan amal di kalangan umat bahkan sampai ke kalangan ulama sehingga diperlukan penanganan serius untuk menginjeksinya. Dorongan ini diperkuat oleh permintaan wazir Fakhrul Mulk (putra Nidzam Al-Mulk) untuk ikut mengajar lagi di Madrasah Nidzamiyah di Nisyapur. Di sini, beliau tidak lama mengajar, kemudian kembali ke Thus, tempat lahirnya. Di Thus ini Al-Ghazali membangun sebuah madrasah untuk mengajar sufisme dan teologi dan membangun sebuah khanqah untuk tempat praktikum para sufi di samping rumahnya. Akhirnya, pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505H atau tepatnya 19 Desember 1111 M, Imam Al-Ghazali meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.
Demikianlah biografi Imam Al-Ghazali yang dapat kami bagikan. Semoga artikel yang kami bagikan dapat memberikan manfaat. Aamiin.